For the First time you write about me

Sabtu, September 19, 2015
ilustrasi : menulis / source : serc.carleton.edu

2015-09-19 22:52 GMT+07:00 @ Gmail.
#DA :
Pertemuanku dengannya, untuk saat ini, selalu menjadi agenda yang prioritas. Kala badan lelah hingga bernafas saja rasanya malas, lalu dia mengatakan ingin datang menemui, rasanya seperti hormon endorfin yang sejak tadi hilang entah kemana muncul kembali. Meletup-letup. Seolah setiap senti pembuluh darah mendadak dibanjiri oleh kafein sialan yang membuat stamina aktif kembali. Seperti tanah Jakarta yang disiram air hujan walau semenit. Aku selalu menunggu untuk bertemu dengannya dalam keadaan apapun. Layaknya kebutuhan. Lucunya, sekaligus ajaib, dia dapat selalu datang menemuiku ketika aku membutuhkannya. Seperti regu penyelamat.

Sejak pertemuan pertama, aku mulai mempelajari dia dengan caraku. Tak banyak. Aku hanya mulai menghafal suara mesin motornya, bagaimana rupanya saat melaju ke arahku, selebar apa punggungnya yang tak lebih lebar dari punggungku (ya, aku selalu mengamati punggungnya, mengukurnya dengan kedua tanganku), bagaimana jari-jemarinya yang luar biasa cantik bahkan lebih cantik dari tanganku itu menggenggam stang motor hingga urat-uratnya tersembur ke luar, dan oh, aku sudah ingat betul matanya ketika menggunakan masker. Suaranya? Jangan tanya. Tak sehari pun aku lupa bagaimana suaranya mampu mendominasi otakku. Tidak akan lupa. Sekalipun lupa, tak perlu khawatir, voice note yang dia kirim di whats app masih tersimpan rapi. Aku sering mendengarnya jika butuh tertawa. Jangan meninggikan alis dulu, suaranya tidak jelek, pun bukan sebuah lelucon. Tapi, suaranya...entah bagian mana...terdengar begitu unik. Ringan dan menggelitik.

Namun, sayang seribu sayang. Ketika aku sudah berusaha mengingat segala hal tentangnya, ketika aku sudah dapat mengenalinya, kini aku diminta untuk menghentikan memoriku. Mem-pause-nya.

Bukan pertanda sebuah perpisahan. Sama sekali bukan. Perpisahan itu kalau dia mendatangi kuburanku atau aku yang mendatangi kuburannya. Bukan perpisahan. Hanya saja, ibarat aku telah hampir menyelesaikan lukisan, tapi orangtuaku menumpahkan air hingga catnya luntur. Ketika orang-orang melihat, mereka tidak tahu apa yang kugambar karena buram. Seperti itu analogi masa depanku dengannya. Aku mati-matian mengatakan bahwa yang kugambar adalah pohon mangga, orang tetap mengatakan bahwa itu hanya coretan tanpa makna.

Lalu, ketika orang lain tak mengerti apa maksud dan tujuan dari gambarku yang buram itu, ketika mereka tak tahu gambar apa itu, aku hanya bisa menaruh kertasnya dan mulai mencari inspirasi apa yang akan kugambar dengan pengawalan ekstra agar tidak ada tumpahan air lagi seperti yang orangtuaku lakukan.

Ingatan-ingatan tentang dia tidak akan sia-sia. Aku kan tetap dapat mengenalinya suatu hari jika dia dan motornya, lengkap dengan masker dan helm yang dia kenakan, melaju ke arahku. Aku akan menyapanya duluan.
-------------------------------
tulisannya ini membalas tulisanku.
Jari - Jariku Cantik? -__-

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.